Sabtu, 31 Maret 2012

Sains, Pengetahuan dan Tasawuf



NATURALISME

Satu masalah naturalisme muncul dari definisi kata "nature." Sekali kita mendefinisikan "nature" hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi "supranatural." Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual; istilah itu mencakup bukan hanya alam fisik tetapi juga alam intelektual dan moral. Kenyataan bahwa hukum alam spiritual tidak diketahui ialah karena kita selama berabad-abad tidak pernah peduli untuk mempelajarinya. Jika seseorang tinggal di dalam rumah yang mempunyai dua kamar tetapi ia selalu hanya berada di dalam kamar yang satu, tidak pernah menginjak kamar yang lain, bahkan menyangkal keberadaan kamar di sebelahnya, maka ia tidak akan mengetahui sesuatu pun tentang kamar di sebelahnya itu. Mengenai alam spiritual yang tidak muncul dalam panca indera kita: pernahkah kita mengukur listrik dengan penggaris; atau mengukur intensitas cahaya dengan sebuah jam? Segala sesuatu harus dipelajari dengan alat yang sesuai.


MENGKOSMOSKAN DUNIA

Mircea Eliade, ahli sejarah perbandingan agama, menarik perhatian kepada fakta bahwa semua orang mengkosmoskan dunia mereka; yaitu mereka menjadikannya terpahami dengan menggunakan agama atau mitos. Bidang yang dapat mereka jelaskan menjadi "kosmos"; apa yang ada di balik itu, bagi mereka adalah kekacauan, keadaan yang perlu ditakuti dan dihindari. Demikian pula, atheisme yang kompulsif telah mengkosmoskan dunianya, dan mencoba mempertahankan hasil pemikirannya. Di sini mereka tidak berbeda dari orang-orang religius yang berupaya untuk mempertahankan kosmos mereka dari disintegrasi ke dalam kekacauan. Kasus ini berlaku baik bagi atheisme maupun bagi agama, atau tepatnya sebagai suatu agama palsu, yang di dalamnya, suatu sistem keyakinan dibentuk dan dipertahankan. Keyakinan bahwa Allah itu tidak ada, sama kuatnya dengan keyakinan bahwa Allah itu ada. Ironinya, semua itu dilakukan dalam nama pikiran. Bryan S. Turner mendebat dalam pengantar Theories of Modernity and Postmodernity (1990), rasionalisasi dapat membuat dunia teratur dan aman, tetapi tak dapat membuatnya bermakna. Turner menarik perhatian pada "erosi makna" dan kebangkitan kebersahajaan yang mengikuti modernisasi, yang pada akhirnya mengarah kepada dunia yang dikendalikan oleh orang-orang tak berhati dan tak berjiwa. Pada awal abad ini, Max Weber mengumumkan "pembebasan dunia dari pandangan keliru" (entzauberung), yang hasilnya berupa hidup di dalam "sangkar besi." Reduksi dunia dan manusia menjadi benda yang hanya mungkin dalam dimensi pikiran, adalah bagaikan mematikan sirkit gambar dalam sebuah pesawat TV dan hanya mendengarkan suaranya saja. Rasionalisasi mungkin saja merupakan pengkosmosan dunia bagi kaum atheis, tetapi dengan kehilangan makna kehidupan. Baik dunia maupun kaum atheis menjadi lebih miskin. Alih-alih memperkaya dan membebaskan manusia, modernitas dan post-modernitas menenggelamkan mereka dalam permainan material, sambil memiskinkan mereka dengan menurunkan derajatnya. Karena itulah pikiran hanya merupakan langkah awal keluar dari harapan.


FILSAFAT

Meskipun "filsafat religius" atau bahkan "agama filosofis" itu ada, kita harus tahu bahwa filsafat dan agama, seperti filsafat dan sains, merupakan dua hal yang berbeda, terutama karena filsafat yang didefinisikan dan dipahami pada masa kini. Penekanan dalam filsafat adalah pada pikiran, pada intelek, dan pemahaman abstrak dari dunia tempat kita hidup. Agama adalah mengenai iman, cinta, keruhanian, dan lebih dari itu, mengalami, meskipun inipun tak dapat meninggalkan intelek. Memang boleh saja kita membuat filosofi tentang agama, namun harus dimengerti bahwa sampai titik tertentu, filsafat bukan lagi merupakan alat yang untuk menelaah agama. Masalah muncul ketika filsafat dipakai untuk menelaah agama di luar batas, misalnya jika dipakai untuk menggantikan pengalaman dengan peta dari pengalaman itu. Bali mungkin suatu tempat yang indah, tetapi peta Bali tidak dapat menggantikan keberadaan seseorang di sana. Pemakaian filsafat dalam atheisme kira-kira sbb. Dengan penekanan pada bahasa, (sering bernada tinggi) istilah-istilah digunakan untuk menjelaskan fenomena dengan cara yang sepenuhnya "rasional", sehingga terjadi reduksi yang bukan merupakan hasil dari alat itu. Dalam membahas masalah seperti iman yang multi-dimensi, ia cenderung ke arah kegelapan, atau malah tidak relevan. Bernard Shaw berkata: "Ketika agama dari akal atas diberikan kepada akal bawah, akal bawah tidak mampu mencernanya, ia malah menariknya ke tingkat di bawah dengan mengabaikannya." Ini berlaku baik bagi penentang maupun penganut agama. Akibat keraguan dalam pandangan atheis, para jenius mungkin menemukan dirinya sendiri sering tidak mampu mengutarakan pemikirannya dengan jelas kepada akal bawah. Namun pada saat lain, timbul kesan bahwa suatu kebingungan telah sengaja dimasukkan untuk menutupi fakta bahwa penulis adalah seperti kita juga, karena permasalahan kita tidak mau diperlakukan seperti itu dan apapun komentar kita, haruslah dikemukakan dengan gamblang dan sederhana. Seorang anak mungkin disuruh menyebar berita bahwa kaisar tidak mengenakan selembar pakaian pun. Seperti dalam sihir, pengucapan mantra-mantra diharapkan untuk menyingkirkan 'ruh-ruh' yang berlawanan dan membuat penonton percaya. Ini mirip dengan ritual pengusiran ruh yang jika berhasil akan membuat aman pahlawan pengkosmosan. Dalam kasus demikian, beberapa pembela atheisme suka mempertunjukkan tukang sihir yang merajut jala ilusi mata, suatu jala juga -sialnya- mereka sendiri jatuh sebagai korban.

Misteri Sebuah Gambar





1. Syariat.
Ini adalah ilmu sama ada ilmu bagi amalan, lahir (feqah) atau ilmu bagi amalan hati (tasawuf). Ini adalah langkah pertama dalam tertib beramal. Ia melibatkan ilmu tentang peraturan, hukum-hakam, halal haram, sah batal dan sebagainya. Ilmu perlu dalam beramal. Tanpa ilmu, kita tidak tahu macam mana hendak beramal mengikut cara yang Tuhan mahu. Kalaupun kita sudah cinta dan takut dengan Tuhan dan kita terdorong untuk menyembah-Nya, kita tidak boleh berbuat demikian ikut sesuka hati kita atau ikut cara yang kita cipta sendiri. Tuhan tidak terima, kita mesti ikut cara yang ditetapkan oleh Islam, kita mesti belajar. Amalan tanpa ilmu itu tertolak. Ilmu atau syariat ini ibarat biji benih.

a. Kurva atas dan bawah : Perjalanan hidup yang naik turun, di atas dan di bawah Lambang kehidupan makhluk , Hidup sejati dari Al-Hayyu harus dijalani susah senang, gembira derita, tawa tangis, Karena hidup perjalanan pada garis waktu ke depan yang tidak bisa mundur. Dan bukan hidup apabila tidak melalui dua pasangan kondisi di atas. Karena dengan gelombang naik turun lah hidup meniti waktu. Tidak ada kekuatan untuk mempertahankan di atas selamanya, dan di bawah selamanya. Jika ada kekuatan seperti itu malah akan melawan alam hidup dan merusak dirinya karena akan lepas dari garis lurus.

b.Garis lurus : Garis hidup, garis waktu, (shirotol mustaqim) Senang susah perjalanan hidup disyukuri dan dinikmati Pada Garis lurus pada tuntunan Ajaran Tuhan sebagai patokan pemandu arah dan pegangan hidup. Sehingga dalam keadaan senang akan dinikmati lalu disyukuri. Begitu pula dalam keadaan derita/susah akan dinikmati lalu disyukuri, tanpa keputus asaan. Apabila lepas dari garis ini maka arah kurva akan hilang karena "hidup" sudah tidak ada dan tidak dapat mencapi tahapan selanjutnya. Apabila tetap pada garis maka kurva kehidupan akan kembali pada garis lurus. Dimana terlahir dimulai pada awal pada garis dan berakhir pada garis pula.

Sebagaimana dicontohkan pada kehidupan Rasul,Nabi, Auliya, semuanya mengalami dinamika turun naiknya kehidupan, namun mereka kokoh pada garis menuju Tuhan. Jadi hidup tidak dapat diteori kan, tetapai dijalani dan dinikmati kemudian disyukuri. :susah dan lapar puasa, ngantuknya bangun subuh untuk sholat, diejeknya berjilbab, bankrutnya usaha, terpilihnya jadi anggota Dewan dsb

c. 3 kurva di atas + 3 kurva di bawah + 1 garis = 7 jalan
3 kurva di atas + 3 kurva di bawah = berpasangan = Perjalanan Hidup Makhluk
1 = Jalan Menuju Tuhan 

2.Tariqat.
Ini adalah peringkat menghidupkan ilmu menjadi amalan sama ada amalan lahir maupun amalan hati secara istiqamah dan bersungguh-sungguh. Ilmu (syariat) yang ada perlu dilaksanakan. Ini dinamakan juga tariqat wajib dan ia tidak sama maksudnya dengan tariqat sunat yang mengandungi wirid-wirid dan zikir-zikir yang menjadi amalan sesetengah pengamal-pengamal sufi. Tariqat ini ibarat kita menanam biji benih tadi (syariat) hingga ia bercambah, tumbuh dan menjadi sebatang pokok yang bercabang dan berdaun.

a. Tiga lingkaran :
Tiga lingkaran masing-masing melambangkan 3 alam (dimensi) pada manusia, alam perbuatan, alam fikiran, dan alam hati. Tiga alam ini adalah pada dasarnya memiliki otoritas dalam aktivitasnya. Masing-masing memiliki aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang memiliki beban tanggung jawab karena adanya otoritas. Perbuatan akan membuahkan amalan lahir yang menghasilkan buah perbuatan. Pemikiran pun demikian akan menghasilkan buah pemikiran yang harus dipertanggung jawabkan juga demikian berlaku untuk hati. Karena memiliki otoritas (kewenangan) dari 3 alam tadi maka masing-masing dapat beresiko tidak terkendali. Apabila berjalan tanpa kendali, berjalan masing-masing maka tibalah pada tahap kebingungan yang akan kotraproduktif, merusak diri, merusak masyarakat, dan lingkungan akhirnya rusaklah "hidup"nya dan semakin jauh dari TuhanNya. Seakan lepas dari ikatan masing-masing berjalan sendiri-sendiri sehingga yang ada kehampaan jiwa, kekosongan hati, kesia-sia an aml perbuatan.

Untuk itu masing-masing alam harus mampu terkoordinasi dalam garis lurus menuju Tuhan sebagai kendali acuan masing-masing sehingga berjalan seiring, harmonis dan seimbang. Yaitu berada dalam kesadaran nilai2 Ketuhanan pada alam perbuatan, alam fikiran dan alam hati.

Lalu para Auliya memiliki berbagai metode pengendalian 3 alam tadi untuk melakukan upaya-upaya keras, konsisten agar 3 alam tadi bergerak sinkron, harmonis, seimbang dalam ikatan tali garis lurus menuju Allah. Masing-masing metode memiliki karakter yang berbeda disesuaikan dengan sifat dasar individu. Macam-macam metode yang diformulasikan dalam bentuk amalan dzikir, doa dan amalan khusus lainnya. Thoreqot itu jalan / metode/prosedur yang telah disahkan dengan menunjuk keberhasilan dari pembawanya (Auliya). Untuk menjalani metode ini harus dibimbing oleh tutor (mursyid) yang akan menilai kemampuan, membimbing hingga tahap selanjutnya. Sebagaimana dalam Budha pun sebelum menjadi biksu para biksu senior menilai dulu sifat, karakter, dan karma yang dibawa (masalah genetik lahir batin) sebelum melalui pendidikan biksu.

b. Lingkaran :
Pada tahap ini sudah tidak ada gejolak naik turun kurva lagi, namun segala sesuatu kejadian sudah dilihat secara utuh baik sisi putih dan sisi gelap. Jadi akan selalu diambil nilai prositif dari putih maupun hitam. Seluruh penilaian seakan melihat dari atas ke bawah, melihat seluruh kejadian secara terintegrasi tidak parsial setengah lingkaran dan berada tanpa larut dalam kejadian itu sendiri (kejadian pada alam perbuatan, alam fikiran dan alam hati) (titik tengah lingkaran bersentuhan dengan garis lurus). Dalam objektifitas /kejujuran/ kemurnian/ dengan mengacu pada penilaian positif kepada Tuhan secara konsisten. Sehingga akan dicapai pengenalan mendalam tentang "hidup".

3.Hakikat.
Hakikat adalah buah. Selepas kita ada syariat, kemudian kita amalkan syariat itu hingga ia naik ke peringkat tariqat, yakni ia menjadi sebatang pokok yang bercabang dan berdaun, maka kalau cukup syarat-syaratnya maka pokok itu akan menghasilkan buah. Buah tariqat adalah akhlak dan peningkatan peringkat nafsu atau pencapaian maqam-maqam mahmudah. Boleh jadi ia menghasilkan maqam sabar , maqam redha , maqam tawakkal , maqam tawadhuk , maqam syukur dan berbagai-bagai maqam lagi. Boleh jadi hanya terhasil satu maqam sahaja (sebiji buah sahaja) atau boleh jadi akan terhasil beberapa maqam yang berbeda dari satu pokok yang sama. Hakikat adalah perubahan jiwa atau perubahan peringkat nafsu hasil dari syariat dan tariqat yang dibuat dengan faham dan dihayati.

4.Makrifat .
Ini adalah hasil dari hakikat, iaitu hal-hal hakikat yang dapat dirasai secara istiqamah. Ia adalah satu tahap kemajuan rohaniah yang tertinggi hingga dapat benar-benar mengenal Allah dan rahsia-rahsia- Nya. Orang yang sudah sampai ke tahap ini digelar Al Arifbillah.
====================================================================

Kalau di-IBARAT-kan dengan Urusan MAKANAN, maka :

1).SYARI'AT itu.............MENGHAFAL Resep Makanan.
....(TIDAK pernah MEMAKAN semua makanan yang dihafal)
....(Hanya sampai batas meng-HAFAL saja,
....tapi TIDAK pernah me-MAKAN).
.
.
2).THORIQOT itu...........PERJALANAN Makanan dari PIRING
.........................................ke MULUT kita.
....(Kalau Makanan TETAP di Piring....kapan MAKAN-nya?).
.
.
3).HAQIQAT itu.............MEMAKAN (me-RASA-kan) Makanan.
....(Me-RASA-kan NIKMAT-nya).
.
.
4).MA'RIFAT itu.............MENELAN MAKANAN.
.
.
.
.
.
Orang2 yang berkecimpung HANYA di Syari'at saja;
Mereka HAFAL semua RESEP Makanan;
Tetapi BELUM pernah memakan Makanan satupun
yang daftarnya tercantum di tumpukan resep2 itu.
.
Padahal NIKMAT itu...barulah bisa diperoleh pada saat MEMAKAN;
BUKAN pada saat Menghafal Resep2.
.
.
Oleh sebab itu diperlukan PERJALANAN (THORIQOT)
agar Makanan bisa sampai di Mulut;
agar bisa merasakan NIKMAT dengan cara MEMAKAN (HAQIQAT).
dan MENELAN (MA'RIFAT)

Tuhan, Agama dan Filsafat “Proses” Dalam Pemikiran Alfred North Whitehead



klik!
Alfred North Whitehead dilahirkan pada tanggal 15 februari tahun 1861 di Ramsgate, Kent, Inggris dan meninggal di Cambridge, Massachusettes, Amerika Serikat pada tanggal 30 Desember 1947. Dalam konteks sejarah dunia, masa hidupnya tersebut merupakan masa yang penuh dengan gejolak. Umum diketahui bahwa pada masa itu terjadi dua perang dunia yang mengguncangkan kehidupan seluruh umat manusia. Dalam masa itu juga ditandai dengan munculnya berbagai penemuan penting dalam bidang ilmu pengetahuan serta munculnya gagasan-gagasan revolusioner yang menciptakan paradigma baru dan mengubah sejarah. Pada masa itu juga muncul tokoh-tokoh seperti Charles Dawin, Albert Einstein, William James dan juga Hendri Bergson.

Alfred North Whitehead lahir dan dibesarkan dalam keluarga guru dan pendeta. Jabatan sebagai kepala sekolah dasar swasta di Ramgate, sudah dipegang ayahnya sejak tahun 1815. Sampai usia 14 tahun, Whitehead tinggal di Ramsgate. Ia diajarkan ayahnya sendiri untuk menguasai bahasa latin dan yunani. Minat akan pendidikan dan sejarah, sejak kecil sudah ada dalam diri Whitehead. Pada tahun 1875, Whitehead dikirim untuk sekolah di Sherborne, daerah Dorsetshire, bagian selatan inggris. Whitehead aktif menjadi seorang prefek (ketua OSIS) di sekolah tersebut. Di sekolah itu pula mulai muncul minatnya akan matematika yang nantinya akan menjadi bidang yang akan digeluti Whitehead dalam karier intelektualnya yang pertama.

Pada tahun 1880 Whitehead masuk Trinity College, di Cambrigde inggris. Disini ia memusatkan diri pada pendalaman bidang studi matematika murni dan terapan. Secara formal ia tidak menghadiri kuliah selain kuliah matematika. Kendati begitu, pendidikan bukan hanya didapat dari kuliah formal. Berkat diskusi-diskusi dengan para senior dan teman-temannya diluar jam kuliah, Whitehead banyak belajar mengenai masalah-masalah politik, agama, filsafat, dan kesusastraan waktu itu. Secara khusus ia mensyukuri keanggotaannya pada kelompok diskusi tersebut dan pada tahun 1885 ia menjadi guru muda di Cambridge kemudian tak lama setelah itu ia pindah mengajar ke Trinity College.

Pada bulan Desember 1890 ia menikah dengan Evelyn Wade, gadis irlandia yang mendapat pendidikan di Prancis. Sesudah menikah mereka hidup bersama di Grantchester, tak jauh dari Cambrigde. Dari perkawinannya dengan Evelyn, ia dikaruniai tiga orang anak. Pada tahun 1910 keluarga Whitehead pindah ke London dan pada tahun 1914 ia diangkat sebagai professor di Imperial College of Science and Technology. Jabatan ini dipegangnya sampai tahun 1924. Selama itu, dia juga bekerja sebagai administrator di Universitas London. Menjelang masa jabatannya berakhir, dia diangkat menjadi ketua dewan dosen. Saat umurnya berusia 63 tahun, Whitehead memulai suatu petualangan baru dengan memutuskan untuk hijrah ke Amerika Serikat, memenuhi tawaran untuk menjadi pengajar Filsafat di Universitas Harvard. Pada usianya yang ke-86, Whitehead akhirnya meninggal dunia sebagai salah seoarang filsuf besar abad ini di Cambrigde, Massachusettes, Amerika Serikat pada 30 Desember 1947.

Karya

Karya-karya Whitehead bisa digolongkan menjadi tiga periode yang menandai tiga tahap perkembangan dalam karier intelektualnya. Pada periode pertama, antara tahun 1891 sampai 1913, pusat perhatiannya adalah pada dunia matematika dan logika. Buku pertama yang ia terbitkan adalah Universal Algebra (1898). Pada tahun 1905 ia menerbitkan sebuah artikel yang cukup mempengaruhi perkembangan filsafatnya dikemudian hari, yakni “On Mathematical Concepts of the Maoms of Projective Geometry (1906). Dan The Axiom of Descriptive Geometry (1997). Pada tahun 1910 terbitlah buku yang cukup terkenal dan dia kerjakan bersama Bertrand Russell, yakni Principia mathematica. Periode pertama dalam perkembangan pemikiran Whitehead dimulai di Cambridge, Inggris, dan berhenti di London.

Periode kedua yang berlangsung dari tahun 1914 sampai 1923, oleh Victor Lowe disebut sebagai “London Pre-Speculative Epistemology”. Pada periode ini Whitehead memusatkan perhatiannya pada pengembangan suatu filsafat ilmu alam. Pada tahun 1914 ia menulisk sebuah artikel yang secara embrional sudah menampakkan beberapa ciri filsafatnya di kemudian hari. Artikel tersebut antara lain: “La Theorie Relationiste de l’ Espace”, “The Organisation of Thought”. Serta buku-buku yang berkaitan dengan ilmu alam yang mengandung unsure filosofis seperti: An Enquiry Concerning The Principles of Natural Knowledge (1919), The Concept of Nature (1920), dan The Principle of Relativity (1922). Periode kedua seluruhnya berlangsung di London.

Periode ketiga adalah periode Harvard. Di sana Whitehead sungguh-sungguh mulai menperkembangkan pemikiran filosofisnya. Periode ini oleh Victor Lowe disebut sebagai periode metafisika, karena dalam buku-bukunya Whitehead pada dasarnya mencoba untuk menyajikan suatu metafisika kosmologis dan pengetengahan peran gagasan-gagasan metafisis dalam perkembangan peradaban manusia. Sejak dia pindah ke Amerika, Whitehead mulai memberikan kuliah dan ceramah-ceramah dalam bidang filsafat. Pada tahun 1925 terbitlah bukunya yang mengawali pemikiran metafisisnya yaitu, Science and the Modern World. Tahun berikutnya (1926) terbit bukunya tentang kehidupan beragama yang berjudul Religion in the Making. Tahun 1927 ia menerbitkan buku yang memuat alur-alur pokok gagasan epistemologisnya yakni Symbolism, Its Meaning and Effect.

Karya terbesar dan merupakan suatu penyajian sistematis dari filsafatnya yang dia sebut sebagai filsafat organism adalah Process and Reality. Buku ini terbit tahun 1929 memang terkenal untuk dibaca dan dipahami isinya. Bukan hanya karena di dalamnya dikemukakan gagasan-gagasan baru yang menuntut perubahan cara berpikir kita yang biasa, tetapi juga karena begitu banyak istilah baru yang ia ciptakan dan gunakan. Whitehead amat sadar akan keterbatasan bahasa dalam mengungkapkan isi pikiran.

Beberapa Pemikiran Pokok Alfred North Whitehead
  1. Pandangan Tentang Filsafat Spekulatif (Metafisika)
Berbeda dengan kebanyakan filsuf abad ini yang menolak atau setidak-tidaknya menaruh curiga terhadap arti dan pentingnya filsafat spekulatif (metafisika), Whitehead menandaskan bahwa filsafat spekulatif itu penting dan berguna. Filsafat spekulatif itu penting untuk member suatu pandangan yang bersifat sintesis (bersifat men-sintesis-kan) dan menyeluruh atas realitas, yang dewasa ini cenderung terfragmentasikan. Kecenderungan tersebut pada dasarnya muncul sebagai akibat dari arus profesionalisme yang telah membuat ilmu-ilmu semakin terspesialisasi dan komunikasi antardisiplin ilmu semakin sulit dilakukan.

Karena hal tersebut, Whitehead yakin bahwa, pada puncak-puncak perkembangan peradaban, tidak adanya filsafat yang bisa memberikan yang bisa memberi suatu visi integrative dan menyeluruh mengenai realitas, akan menyebabkan terjadinya kemerosotan, kebosanan, dan berkurangnya kegairahan usaha. Adanya visi integrative dan menyeluruh yang bisa member arti kepada berbagai kegiatan dalam masyarakat, bisa memberi arah pada perkembangan sejarah. Whitehead merumuskan filsafat spekulatif sebagai usaha untuk merumuskan suatu system pemikiran-pemikiran umum yang bersifat koheren, logis, dan pasti, atas dasar mana setiap unsur pengalaman dapat diterangkan. Whitehead sendiri mengakui bahwa belum ada system filsafat yang begitu sempurna sampai bisa menerangkan segala unsure pengalaman berdasarkan system tersebut. “keterbatasan daya pengertian dan kekurangtepatan bahasa dalam merumuskan gagasan, senantiasa akan merupakan penghalang”. Selain keterbatasan bahasa dalam kemampuannya untuk mengerti keseluruhan kenyataan sedalam-dalamnya, membuat kita mesti puas dengan hasil usaha yang secara asimptosis saja (selalu hanya bisa mendekati tanpa pernah bisa menyentuh), atau selalu hanya mendekati saja apa yang ideal.

Inilah sebabnya Whitehead menyebut skema pemikiran tersebut tidak lebih dari “hipotesis kerja”. Tujuannya, sebagaimana dia sendiri rumuskan, adalah “untuk mengkoordinasi ungkapan-ungkapan pengalaman manusia dewasa ini, dalam pembicaraan umum, dalam lembaga-lembaga sosial, dalam kegiatan-kegiatan, dalam prinsip-prinsip yang mendasari macam-macam ilmu, dengan mencoba menerangi unsur-unsur yang selaras dan menunjuk hal-hal yang tidak sesuai satu sama lain. Metode yang ditempuh dalam menyusun system atau skema pemikiran umum yang terpadu itu oleh Whitehead disebut sebagai “imaginative generalization” (perampatan imaginative). Perampatan tersebut berangkat dari suatu pengalaman konkret tertentu dan dicari struktur dasarnya yang berlaku umum. Sistem atau skema pemikiran yang dirumuskan itu mesti mempunyai baik segi rasional maupun segi empiris.

Filsafat spekulatif bertitik tolah dari pengalaman konkret sebagaimana dikondisikan oleh dunia actual. Pengalaman empiris dalam segala kekayaan dan kompleksitasnya merupakan sumber dari mana diambil bahan untuk refleksi filosofis. Prinsip-prinsip metafisis yang bersifat umum dan yang secara imajinatif ditarik dari pengalaman empiris tadi merupakan suatu ‘hipotesis kerja’ untuk menerangkan berbagai jenis pengalaman yang lain. Hipotesis kerja ini mesti diujicobakan dengan melihat apakah memang bisa dipakai untuk menjelaskan berbagai aspek pengalaman yang lain. Sebagai hipotesis kerja, sistem metafisika tidak pernah bersifat final. Kita mesti tetap terbuka terhadap kemungkinan perkembangan dan munculnya hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ada. Whitehead menyadari bahwa pengetahuan manusia itu masih akan terus berkembang, dan setiap usaha mensistematisasikan pengetahuan yang masih terus akan berkembang. Oleh karena itu ia memperingatkan bahwa sistematisasi itu tidak pernah bersifat final.
  1. Pandangan Filosofis tentang Alam Dunia (Kosmologi)
2.1.    Alam dunia sebagai suatu proses organis

“Proses” merupakan suatu kategori dasariah dalam filsafat Whitehead, sehingga filsafatnya sering disebut dengan filsafat proses. Dalam pengertian proses sendiri terkandung makna adanya perubahan berdasarkan mengalirnya waktu (temporal change) dan kegiatan yang saling berkaitan (interconnected activities). Proses tersebut merupakan suatu proses organis. Artinya, ada saling keterkaitan antara unsur-unsur yang membentuknya , dan keseluruhan wujud bukan hanya sekedar penjumlahan unsur-unsure bagiannya. (The whole is not equivalent to the sum of its parts).

gravity1
klik sumber
Sebagai ganti simbol dasar ‘mesin’ yang dipakai oleh Materialisme Ilmiah dalam memandang keseluruhan realitas, Whitehead mengambil simbol dasar ‘organisme’. Dan simbol dasar ini mau ditegaskan bahwa seluruh realitas (dunia, manusia dan Tuhan) itu bersifat dinamis, selalu berubah, dan mengandung unsur baru. Seluruh realitas berproses dan unsur-unsurnya saling terkait. Setiap unsure atau bagian dari keseluruhan sistem menyumbang pada kegiatan seluruh sistem sebagai satu kesatuan. Sebaliknya, keseluruhan sistem sebagai satu kesatuan memperoleh kegiatan masing-masing unsur atau bagiannya.

Whitehead lebih lanjut, mempertahankan adanya pluralitas atau kemajemukan realitas. Individualitas dan integritas setiap peristiwa dipertahankan dalam perpaduan organis dengan peristiwa-peristiwa yang lain. Setiap satuan aktual dalam arti tertentu menciptakan dirinya sendiri berdasarkan data yang diwarisinya dan dengan mengacu pada cita-cita diri yang bersumber pada ‘Tuhan’ dalam aspek yang primordial. Setiap satuan aktual, sebagai proses organis, dalam dirinya sendiri merupakan suatu individu baru dan bukan sekedar buah hasil penyatuan unsur-unsur yang membentuknya. Setiap satuan aktual merupakan suatu ‘subjek’ yang ‘mengalami’ dan ‘mewarnai’ seluruh alam lingkungannya. Dengan ini Whitehead mempertahankan adanya kebebasan ‘subjek’ dalam menentukan diri berdasarkan situasi konkret yang mengkondisi dirinya dan menghindarkan diri dari suatu monism panteistik.

2.2.    Alam dunia sebagai jaringan satuan-satuan aktual

Alam dunia dan realitas secara keseluruhan, dalam pandangan Whitehead, merupakan jaringan atau keterjalinan satuan-satuan aktual yang saling meresapi atau mempengaruhi. Setiap satuan aktual secara esensial terjalin dengan satuan-satuan aktual lainnya. Apa yang disebut oleh Whitehead sebagai prinsip proses, menyatakan bahwa hakikat setiap pengada ditentukan oleh bagaimana ia menciptakan diri dalam proses menjadi dirinya. Ada hubungan internal dan bukan hanya hubungan eksternal antara satuan aktual yang satu dengan satuan-satuan aktual yang lain. Realitas aalah suatu jaringan atau keterjalinan macam-macam hubungan, suatu medan gerak aktivitas yang saling mempengaruhi. Whitehead lebih lanjut mengatakan bahwa keseluruhan dalam mana organism menjadi bagian dari lingkungan (environment) untuk organism tersebut. Hubungan timbal balik antara sebuah organism dengan lingkungannya dimengerti sebagai hubungan antara bagian dan keseluruhan. Whitehead menamai hal tersebut sebagai organic mechanism, yaitu teori mekanisme dalam mana rancangbangun keseluruhan mempengaruhi ciri-ciri sendiri dari bagian-bagiannya. Sehingga ciri-ciri keseluruhan tidak dapat dideduksikan begitu saja dari ciri-ciri bagiannya.

Suatu implikasi penting dari faham tersebut adalah bahwa alam dunia ini secara lepas keseluruhan bukan sekedar penjumlahan banyak benda yang lepas-lepas atau masing-masing berdiri sendiri dan hanya secara eksternal saja berhubungan satu sama lain serta secara univok dapat dijelaskan berdasarkan prinsip materi dan gerak. Alam dunia secara keseluruhan merupakan suatu ekosistem, suatu organism dimana bagian-bagian atau unsur-unsur pembentuknya saling berkaitan dan saling tergantung serta ada hubungan timbal balik antara bagian dan keseluruhan. Alam dunia juga tidak dimengerti secara statis, dan mekanisme geraknya diterangkan melulu berdasarkan prinsip sebab-akibat (causa efficient), tetapi secara dinamis dan teleologis.

2.3.    Alam dunia terus berubah dalam waktu

Bagi Whitehead, alam dunia merupakan suatu realitas yang bersifat dinamis, suatu proses yang terus menerus ‘menjadi’ (a process of becoming). Alam dunia dengan segala isinya merupakan suatu rangkaian peristiwa dengan puncak-puncak atau gumpalan-gumpalan gelombang pengalaman. Alam dunia terus berubah dalam waktu. Sebagai orang yang menerima konsep evolusi, Whitehead mempunyai konsep linear mengenai waktu dan bukan siklis. Namun, konsep waktu linear tidak berarti bahwa waktu tidak lain hanyalah suatu deretan atau rangkaian saat-saat (series of instances), melainkan suatu aliran kesatuan peristiwa. Demikianlah, meskipun alam dunia yang berubah dalam waktu ini sebagai keseluruhan bersifat organic, satuan-satuan aktual yang membentuknya, sebagai satu kesatuan, bersifat atomis, unik dan tak terbagi. Pengertian ini bagi Whitehead bisa dipakai untuk menjelaskan adanya identitas diri atau aspek permanen dalam proses perubahan. Permanensi lebih dimengerti sebagai pola-pola tetap yang kembali dalam proses perubahan yang sinambung daripada sebagai suatu substansi yang sendiri tetap tidak berubah.
  1. Pandangan Filosofis Tentang Manusia (Antropologi)
3.1.    Materialitas Manusia: Manusia sebagai bagian dari alam

Whitehead menyatakan bahwa manusia dalam arti tertentu merupakan bagian dari alam. Kendati ia tidak menolak adanya apa yang secara tradisional disebut sebagai ‘jenjang-jenjang pengada’ (levels of being) atau struktur hirarkis dalam tata susunan alam semesta, Whitehead, sesuai dengan ajaran evolusi, menekankan adanya kesinambungan antara keberadaan manusia dengan jenjang-jenjang keberadaan di bawahnya. Manusia merupakan bagian dari alam. Unsure-unsur alami terdapat dalam diri manusia. Hukum alam dalam arti tertentu juga berlaku untuk manusia. Meskipun Whitehead tidak akan menolak keluhuran manusia sebagaimana diungkapkan dalam pernyataan manusia pertama-tama adalah makhluk rohani, atau pernyataan ‘manusia adalah puncak dari segala penciptaan’.
Pemisahan radikal manusia dari alam lingkungan untuk menekankan kerohanian dan transendensinya, ternyata telah ikut memperkuat pandangan materialistis dan mekanistis terhadap alam. Alam dianggap sebagai tidak lain hanyalah seonggok materi atau benda mati yang hukum-hukumnya bisa diketahui secara pasti. Aspek hidup dan ‘kerohanian’ yang memunculkan unsur proses atau perkembangan, unsure nilai, unsur makna, dan unsure kebaruan sama sekali diekseklusifkan dari alam. Alam tidak berproses atau mengalami perubahan dan pembaruan dalam perjalanan waktu; alam juga tidak punya nilai dalam dirinya sendiri. Dalam pendangan ini manusia sebagai makhluk yang bebas, manusia sama sekali tidak terikat oleh alam lingkungannya. Ia menjadi tuan atas seluruh ciptaan dan bisa berbuat semaunya terhadap alam. Inilah pandangan dualistis (pemisahan manusia dari alam) yang cenderung bersifat eksploitatif terhadap alam.

Untuk mengatasi pandangan dualistis tersebut, Whithead mencetuskan gagasannya tentang “pansubjektivisme”. Seperti telah disinggung bahwa ia secara imaginative memakai kategori ‘subjek’ bukan hanya untuk manusia, melainkan juga untuk satuan-satuan aktual infrahuman. Sejauh kita sadari bahwa apa yang dia maksudkan dengan pengertian ‘subjek’ tidak secara langsung dikaitkan dengan pengertian kesadaran dan kebebasan. Dalam pemikiran Whitehead, unsur-unsur identik yang menghubungkan pengalaman manusia dengan ilmu fisika adalah unsur ‘subjek’ sebagai suatu hasil proses intrinsic (punya nilai pada dirinya sendiri) untuk ‘mengolah’ warisan masa lalu dengan unsur-unsur baru. Aspek ‘kesejarahan’ atau kesinambungan dengan masa lalu bukan hanya berlaku untuk pengalaman manusia, melainkan juga dalam realitas alam. Bahwa manusia merupakan bagian dari alam, baik manusia maupun alam merupakan suatu ‘serikat satuan-satuan aktual’ (society of actual entities) yang berkutub dua atau “bipolar”, yakni kutub fisik dan kutub mental.

Bahwasanya manusia itu merupakan bagian dari alam, bagi Whitehead menjadi nyata dari betapa eratnya badan manusia dengan dunia sekitarnya. Pengetahuan kita tentang badan menempatkannya sebagai satu satuan kompleks peristiwa-peristiwa dalam lingkungan alam yang lebih besar. Garis batas yang jelas untuk memisahkan badan dengan alam lingkungan, sulit untuk ditarik. Whitehead pernah berkata: “When we consider the question with microscopic accurancy, there is no difinte boundary to determine where the body begins and external nature ends”. (kalau kita mengkaji masalahnya dengan ketepatan sekecil-kecilnya, akan menjadi nyata bahwa tidak ada batas yang secara jelas bisa ditentukan di mana badan manusia itu mulai dan alam luar itu berakhir ).

3.2.    Historisitas dan kebebasan manusia : manusia sebagai makhluk yang dinamis

Selaras dengan sentralnya kategori ‘proses’ dalam kosmologi Whitehead, maka pemikiran tentang manusia juga dipandang sebagai makhluk yang dinamis. Manusia mempunyai kekuatan atau daya kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang. Bipolar sebagai sifat mental sekaligus sifat fisik, merupakan proses aktual, dan kreatif diri. Dengan demikian akan terjadi proses dinamika dalam bentuk keterbukaan pada alternatif-alternatif baru yang lebih luas.

Kebebasan bagi Whitehead hadir dalam seluruh kosmos. Namun baru pada manusia kebebasan itu disadari dan menjadi suatu aktualitas. Dalam proses pertumbuhan hal-hal infrahuman unsur determinasi internal lebih berkuasa. Sebagai makhluk yang dinamis, manusia baru sungguh-sungguh hidup atau menghidupi hidupnya kalau terus-menerus aktif membentuk dirinya. Manusia ‘mengada’ dan terus-menerus ‘menjadi’. Dalam hal ini ia juga menekankan pentingnya tanggung jawab manusia untk mengisi hidupnya yang autentik dan bermakna. Sesuai dengan prinsip ‘proses’, bagi Whitehead, hakikat keberadaan seseorang, terletak dalam bagaimana dia secara aktif, kreatif, dan inovatif memanfaatkan warisan masa lalunya untuk suatu perwujudan baru kehidupannya yang member intensitas pengalaman hidup secara lebih mendalam.

3.3.    Sosialitas manusia: manusia hidup dari dan untuk yang lain

Sosialitas (kesosialan) manusia, yakni kenyataan bahwa manusia itu tidak bisa hidup lepas dari hubungannya dengan manusia lain atau bahwa manusia itu makhluk yang memasyarakat, merupakan sesuatu penekanan dalam pemikiran fisafat Whitehead. Hal ini nyata dari apa yang dia sebut sebagai “prinsip relativitas” yang berbunyi: bahwa merupakan hakikat setiap pengada bahwa ia merupakan potensi untuk setiap ‘proses menjadi’. Setiap satuan aktual dalam proses menjadi dirinya, kendati merupakan proses penciptaan diri (self-creation), namun bukan merupakan kegiatan sendiri yang terisolasi dari yang lain. Sebaliknya merupakan proses lahirnya satu individu baru dari banyak individu lama yang dalam dirinya sendiri telah mencapai kepenuhan adanya. Dan menyediakan diri untuk menjadi potensi untuk proses ‘menjadi’ (becoming) satuan aktual selanjutnya. Setiap satuan aktual yang dalam dirinya sendiri telah mencapai kepenuhan adanya dan mati, tidaklah hilang lenyap ke ketiadaan, melainkan secara objektif hadir (mengalami ‘objective immortality’) dalam satuan aktual berikutnya. Inilah apa yang ia sebut sebagai proses “transition” atau proses makroskopis. Penjalinan hubungan (relation) dengan yang lain bukan hanya sesuatu yang bersifat aksidental, melainkan sesuatu yang bersifat esensial untuk setiap pengada.
  1. Pandangan Filosofis tentang pengetahuan (Epistemologi)
4.1.    ‘Prehensi’ mengetasi dikotomi subjek-objek

Sumbangan pokok Whitehead pada filsafat pengetahuan (epistemology) terletak dalam teorinya tentang persepsi yang dia sebut “prehension” (prehensi). Pernyataan ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Salah satu masalah pokok yang muncul dalam epistemologi sejak Descartes adalah masalah kriteria kebenaran pengetahuan dalam kaitannya dengan hubungan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Dua aliran besar menandai pemikiran dalam zaman filsafat modern, yakni realism dan idealism. Teori Whitehead tentang ‘prehensi’ bermaksud untuk mengatasi dikotomi atau pemisahan yang sepertinya tidak menjembatani antara subjek dan objek, tanpa mereduksi ke salah satu. Hal ini misalnya menjadi nyata dalam kritiknya terhadap sensasionalisme yang berpendapat bahwa pengetahuan itu muncul berkat penerimaan secara pasif oleh subjek atas rangkaian impresi-impresi atomis yang berasal dari objek di luar subjek dan ditangkap sebagai suatu gabungan oleh pancaindera. Pendapat ini diyatakan oleh David Hume, yang oleh Whitehead dianggap tidak sesuai dengan pengalaman yang nyata. Memang kalau orang membatasi pencerapannya terhadap lingkungan pada apa yang secara jela dan tegas bisa diterima dengan memakai pancaindera, maka yang dialami oleh manusia memang hanyalah sense atau serangkaian impresi-impresi inderawi. Namun pencerapan atau persepsi inderawi itu bukanlah jenis persepsi yang paling mendasar, melainkan merupakan sebuah abstraksi.

Whitehead sendiri membedakan tiga jensi persepsi. Yang pertama adalah “presentational immediacy” yaitu persepsi berdasarkan pancaindra. Yang kedua adalah “presentational immediacy”, yang menurut Whitehead jenis persepsi ini sudah merupakan abstraksi dari jenis persepsi yang lebih mendasar. Dan yang terakhir adalah dia sebut sebagai “symbolic referece”. Jenis persepsi ini adalah persepsi yang secara umum kita mengerti, yakin perpaduan antara “causal efficacy” dan “presentational immediacy”. Teori persepsi Whitehead yang disebut ‘prehensi’ bisa mengatasi kesulitan epistemology mengenai bagaimana ‘aku’ bisa tahu sesuatu diluar ‘aku’. Karena si ‘aku’ sebagai serikat satuan-satuan aktual bukan merupakan sesuatu yang tertutup dan berdiri sendiri (sebagaimana yang dimengerti oleh Descartes), melainkan sesuatu yang lahir dari warisan masa lalu dengan nama ‘aku’ kini mempunyai kesinambungan historis, dan mengantisipasi pada ‘aku’-‘aku’ lain yang pada masa mendatang akan terpengaruhi, maka dalam setiap proses kegiatan (termasuk di dalamnya kegitan untuk tahu) ‘yang lain’ atau segala sesuatu di luar ‘aku’, senantiasa dilibatkan.
  1. Pandangan Filosofis tentang Moral (Etika)
5.1.Moralitas: Pengaturan proses demi maksimalisasi bobot kehidupan

Dalam bukunya Mode of Thought (hal. 13-14) Whitehead mengatakan: “Morality consist in the control of process so as to maximize importance. It is the aim greatness of experience in the various dimensions belonging to it.” (Moralitas terdiri dari pengaturan control demi maksimalisasi bobot kehidupan. Tujuannya adalah untuk mengejar keagungan pengalaman dalam berbagai dimensinya yang terkandung dalam pengalaman tersebut. Beberapa baris kemudian dalam buku yang sama ia melanjutkan: “Morality is always the aim at that union of harmony, intensity, and vividness which involves the perfection of importance for that occasion.” (Moralitas selalu merupakan cita-cita ke arah kesatuan selaras, intensitas/ kedalaman pengalaman, dan kesegaran hidup yang melibatkan penyempurnaan bobot untuk satuan pengalaman tertentu).

Dari pernyataan tentang “process” dan “importance” merupakan dua kata kunci untuk memahami pandangan tentang moral. Bahwasanya ‘berada’ (to be) bagi Whitehead adalah merupakan proses (to become). Dengan memahami moralitas sebagai pengaturan/ control atas proses mau ditandaskan bahwa moralitas perlu ditempatkan dalam konteks dinamika kehidupan dan bukan pertama-tama dalam aturan-aturan, hukum, ataupun nilai-nilai absolute dan abstrak lepas dari gerak perubahan zaman dan pergulatan hidup manusia nyata. Whitehead lebih lanjut bermaksud untuk menyatakan bahwa benar-salahnya tindakan atau baik-buruknya kelakuan manusia pada dasarnya tidak pertama-tama ditentukan oleh ditaati-tidaknya peraturan-peraturan tertentu atau dilakukan-tidaknya perbuatan-perbuatan tertentu, melainkan oleh kesetiaan setiap individu dalam tanggung jawabnya untuk menjadi pribadi yang sebaik mungkin dalam setiap situasi konkret yang dihadapinya. Disini tanggung jawab pribadi bertujuan untuk mengolah hidup yang nyata guna semaksimal mungkin menjadi dirinya sebagai pribadi yang bermutu mendapatkan tekanan.

5.2. Etika sebagai bagian dari estetika

Yang baik bagi Whitehead adalah yang secara moral indah atau selaras. Keindahan dan keselarasan baik dalam seni maupun dalam moral muncul jika ada kesatuan dari keanekaragaman dalam suatu pola tertentu yang memadukan unsur-unsurnya tanpa menghilangkan atau mematikan keunikan masing-masing. Bedanya hanya kalau seni menekankan kedalaman pengalaman sekarang dan di sini, sedangkan moral lebih mengacu pada akibat tindakan sekarang pada yang akan datang. Bagi Whitehead, baik dalam seni maupun dalam moral keindahan diakibatkan oleh adanya apa yang dia sebut sebagai “patterned contrast”, yaitu keterpaduan unsur-unsur yang beragam dalam kesatuan pola tertentu. Penikmatan keindahan dan pewujudan kebaikan dalam pandangannya mengandung struktur yang sejajar. Baik dalam seni maupun dalam moral perlu adanya peresapan atau pemakaian suatu norma, adanya stabilitas, dan modifikasi norma tersebut. Ditaatinya norma mendasari adanya stabilitas dan kesinambungan dengan sejarah masa lalu. Tradisi sebagai endapan kebijaksanaan yang diwariskan oleh para pendahulu kepada generasi sekarang bukan sesuatu yang dapat dibuang begitu saja. Sebaliknya tradisi tersebut perlu digali, dimengerti, dan diberi perwujudan baru sesuai dengan perkembangan zaman. Di sinilah pentingnya modifikasi norma yang ada. Tanpa adanya modifikasi yang bisa memelihara relevansi arti dari suatu tradisi, cepat atau lambat tradisi tersebut akan menjadi basi dan mati.

Perlunya suatu aturan untuk menjaga kesinambungan dengan masa lalu dan kestabilan di satu pihak, dan perlunya modifikasi aturan, perlunya pembaruan serta sikap berpetualang di lain pihak, oleh Whitehead dirumuskan menjadi dua prinsip dasar moral yang tak terpisahkan, yakni prinsip ‘keteraturan’ dan prinsip ‘kasih’. Yang pertama menandaskan kepentingan umum dan kedua menggarisbawahi perlunya perhatian pada kepentingan setiap individu warga masyarakat. Suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral kalau itu meningkatkan kesejahteraan umum dan hormat terhadap kepentingan individu yang bersangkutan. Whitehead menginginkan dengan upanyanya yang mengaitkan etika dengan estetika, dia bermaksud untuk menunjukan bahwa pada keduanya kepastian kebenaran keputusan tidak pernah bisa ditentukan secara matematis, mutlak dan apriori. Dalam penilaian moral, sebagaimana dalam penilaian estetis, unsur intuisi selalu ikut main. Demikian juga ketepatan dalam menilai tidak pernah hanya tergantung dari kemampuan kognitif manusia.

5.3. Relativisme moral?

Kenyataan bahwa seluruh pemikiran filsafat Whitehead mengambil model dasar pengalaman estetis sebagai model penjelasan pengalaman serta lebih menekankan segi proses daripada substansi mungkin memberikan kesan bahwa dalam teori moral Whitehead akan jatuh ke paham relativisme moral yang menolak adanya norma moral yang berlaku umum. Whitehead memang secara eksplisit menolak adanya hukum-hukum moral yang berlaku secara universal dan sepanjang zaman tanpa perlu adanya perubahan. Ia menulis “There is no one behavior-system belonging to the essential character of the universe, as the universal moral ideal”. Whitehead memberikan dua alasan mengapa paham tentang adanya hukum-hukum moral tertentu yang berlaku universal perlu ditolak: (1) Hidup moral menyangkut kegiatan hidup konkret di mana setiap situasi cukup khas dan tidak bisa disamaratakan begitu saja dengan situasi lain; perubahan atau proses merupakan suatu yang penting untuk diperhatikan. (2) kendati hidup moral mengandaikan adanya nilai-nilai abadi yang bersifat normative, namun penerapannya atau perwujudannya nilai-nilai tersebut selalu tidak bisa dilepaskan dari situasi konkret yang memerlukan pertimbangan dan keputusan moral.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa peraturan moral, pola-pola tingkah laku manusia perlu senantiasa disesuaikan dengan perkembangan sejarah dan situasi moral konkret saat keputusan diambil. Namun, ini tidaklah berarti bahwa dia jelas-jelas seorang penganut paham relativisme moral, karena ia misalnya, menolak adanya dan perlunya prinsip moral yang bersifat umum. Karena menurut dia peraturan-peraturan moral konkret itu harus berlaku relative dan perlu terus-menerus disesuaikan dengan situasi konkret yang dihadapi.
  1. Pandangan Filosofis tentang Tuhan dan Agama
6.1.    Kemerosotan pengaruh agama pada zaman modern

Menurut pengamatan Whitehead atas sejarah, pengaruh agama-agama dalam kehidupan manusia dewasa ini (dia membuat pernyataan ini tahun 1925 dengan latar belakang dunia Eropa dan Amerika) sudah tidak sekuat dan seefektif masa-masa yang lalu. Agama-agama itu dalam anggapannya telah kehilangan genggaman pengaruh atas dunia. “They have lost their ancient hold upon the world”. Apakah alasan yang menyebabkan kemerosotan ini? Menurut Whitehead, sekurang-kurannya ada dua alasan pokok yang menyebabkan kemerosotan tersebut. Asalan pertama adalah stagnasi yang menimpa kehidupan beragama. Stangnasi tersebut misalnya, terungkap dari sikap konservatisme dan sikap defensive kaum agamawan dalam menghadapi perubahan-perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan science dan teknologi. Sikap defensif ini yang kemudian dalam pandangan Whitehead yang telah merusak citra kewenangan intelektual para pemikir atau tokoh-tokoh agamawan. Baginya agama tidak akan mampu memperoleh kembali pengaruhnya atas manusia modern kalau tidak menghadapi tantangan perubahan zaman sebagaimana terjadi dalam science. Kendati kaidah-kaidah dasar agama itu abadi, ungkapannya dalam perjalanan sejarh memerlukan perubahan dan penyesuaian. Bagi Whitehead kemajuan science dan teknologi tidka perlu dipandang sebagai ancaman untuk agama; sebaliknya kemajuan tersebut dapat merangsang beberapa pemikiran kritis yang nantinya akan memperkuat agama. Tuntutan untuk perubahan dan penyesuaian ungkapan keagamaan ini berarti bahwa konservatisme dan absolutism dogmatis tidak sesuai dengan dunia modern. Bagi Whitehead “agama-agama melakukan bunuh diri kalau mendasarkan inspirasinya terutama pada dogma mereka”.

Alasan kedua yang menyebabkan kemerosotan pengaruh agama di zaman modern ini, menurut Whitehead adalah ketidaksesuaian antara gambaran tentang Tuhan yang secara tradisional cukup banyak diberikan oleh agama-agama yang ada dengan gambaran manusia modern. Tuhan dalam gambaran tradisional adalah bagaikan raja absolute yang selalu harus ditakuti dan dipatuhi titahnya. Dalam gambaran tersebut kemahakuasaan Tuhan terlaku ditekankan. Padahal, dalam gambaran manusia modern, Tuhan lebih dilihat Sebagai kekuasaan kasih yang memberikan ruang kebebasan pada manusia untuk memikul tanggung jawab pribadinya.
Bagi Whitehead, Tuhan dalam gambaran tradisional sebagai pencipta yang amat transenden, yang maha sempurna dan tetap tak berubah, juga cenderung kurang memberikan tempat pada imanensiNya dalam proses pergolakan sejarah umat manusia. Dalam gambaran tersebut Tuhan dengan manusia di dunia dilukiskan seperti hubungan raja-raja Mesir dan Mesopotamia kuno terhadap rakyat bawahan mereka. Tuhan digambarkan sebagai penguasa mutlak yang bisa memberi titah sewenang-wenang dan wajib ditaati oleh para pengikutnya. Tuhan bagaikan raja tiran yang penuh kuasa di balik kekuatan alam yang tak dikenal. Dengan demikian Tuhan dalam gambaran itu lebih merupakan musuh dengan siap mesti diadakan perjanjian damai daripada sahabat yang perlu diteladani. Tuhan lebih dimengerti sebagai pribadi yang mesti ditakuti daripada pribadi yang pantas dicintai.

Bagi Whitehead, gambaran Tuhan seperti itu bertentangan dengan aspirasi manusia modern yang sangat menghargai kebebasan dan nilai pribadi manusia. Kalau pewartaan agama mau tetap menyapa aspirasi manusia modern, kiranya perlu suatu perumusan kembali atas gambaran tentang Tuhan. Inti pewartaannya perlu diubah dari kibab suci yang mengundang ketakutan dengan kitab suci yang mengundang sikap hormat dan kasih. Bagi Whitehead, gambaran Tuhan sebagai penguasa ilahi yang bisa bertindak sewenang-wenang bukan hanya secara psikologis tidak sesuai dengan semangat manusia modern, melainkan juga secara intelektual tidak memuaskan. Pertama, jika Tuhan itu dipandang sebagai mahakuasa dalam segala hal, itu berarti bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa terjadi di dunia ini yang tidak Dia kehendaki atau perbolehkan. Tetapi kalau begitu, berarti bahwa Dia betanggungjawab untuk setiap kejadian apapun di dunia ini, termasuk kejadian yang jahat. Bersediakah kita secara teologis menerima kenyataan itu? Keduanya, karena dalam proses tersebut Tuhan dikecualikan dari semua kategori metafisis yang berlaku untuk dunia ini, atau dengan kata lain transendensi –nya begitu ditekankan, mengalahkan jurang pemisah Tuhan dari manusia dan dunianya, sebuah jurang yang membuat sulit bahkan untuk membuktikan keberadaan-Nya saja.

Sebagai konsep alternative, Whitehead mengemukakan paham tentang Tuhan yang kemudian terkenal dengan sebutan Panenteisme. Menurut paham ini, semuanya yang ada termuat dalam Tuhan yang, seperti yang telah dijabarkan memiliki dua aspek, yakni aspek awali (primordial) dan akhiri (consequent). Tuhan dalam aspek primordialnya merupakan perwujudan konseptual dari seluruh kekayaan potensialitas absolute, suatu penataan segala kemungkinan bentk perwujudan konkret “objek-objek abadi” dalam proses konkresi “satuan-satuan aktual”. Aspek “primordial” Tuhan dalam pengertian Whitehead rupanya sejajar dengan apa yang pengertian kita biasa kita sebut sebagai Tuhan sebagai Pencipta, sedangkan aspek “consequent” sejajar dengan pengertian Tuhan sebagai Penebus.
Paham panenteisme dikemukakan sebagai suatu pemikiran teologis untuk mengatasi kelemahan baik yang terdapat pada Panteisme yang tidak cukup membedakan Tuhan dari dunia, maupun Monoteisme yang terlalu memisahkan Tuhan dari dunia. Tuhan, menurut pandangan panenteisme, tidak “di luar” ataupun “di samping” dunia, dan juga tidak ada “sebelum” dunia dijadikan, tetapi selalu korelatif atau ada bersama dengan dunia. Kesempurnaan dan kemahakuasaan Tuhan tidak terletak di dalam keberadaannya Nya yang begitu transenden atau sama sekali mengatasi dunia ini dan selalu tetap tidak mengalami perubahan sedikitpun, tetapi justru di dalam kasih-Nya yang membiarkan diri diubah dan digerakkan oleh segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.

6.2.Agama sebagai sumber visi dan motor perjuangan

Selaras dengan pandangan dunia yang dinamis tentang realitas, Whitehead melihat agama bukan pertama-tama sebagai penjaga atau pengatur hidup moral para pemeluknya, melainkan sebagai sumber visi dan motor perjuangan. Ia menyadari bahwa dalam kenyataannya, agama sering kali bukannya menjadi visi ke depan dan motor perjuangan yang memberi keberanian untuk bertualang dan mengambil resiko, melainkan menjadi sumber kekolotan. Menurutnya kelakuan yang baik memang bisa merupakan suatu hasil hidup beragama, karena kalau dihayati secara ikhlas dan dimengerti secara benar agama akan menghasilkan suatu pertobatan, suatu perubahan watak dari yang buruk menjadi yang baik. Namun, ini bukanlah satu-satunya yang penting dalam hidup beragama. Ia berpendapat bahwa agama yang terlalu menekankan fungsinya sebagai penjaga moral, cenderung untuk menanamkan rasa takut akan hukuman pada para pemeluknya daripada rasa gembira penuh syukur. Rasa takut akan hukuman bisa mematikan inisiatif dan kreativitas.

Agama menurut Whitehead merupakan suatu visi tentang sesuatu yang di atas, di balik dan di dalam hal-hal yang senentiasa berubah atau sementara ini; sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu untuk dinyatakan; sesuatu yang ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan. Daya kekuasaan Tuhan adalah rasa bakti yang diinspirasikan Nya. Suatu agama merupakan agama yang kuat kalau dalam ritualnya dan dalam cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakan hati. Kebaktian kepada Tuhan bukan jalan untuk mencari rasa aman, melainkan suatu petualangan roh, suatu usaha untuk menggapai yang tak tergapai. Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan.

6.3.Agama sebagai pemberi rasa damai

Dalam pemikiran Whitehead, agama selain memberikan visi dan motor keterlibatan, juga memberikan rasa damai. Fungsi agama sebagai pemberi rasa damai ini menurut dia amat penting dalam menunjang proses peradaban manusia. Teori Whitehead tentang peradaban bersifat teistik. Proses peradaban ia dasarkan atas pengertian tentang Tuhan sebagai sumber dan tujuan aktivitas penyempurnaan diri. Rasa damai muncul dari keyakinan bahwa Tuhan merupakan ukuran keselarasan dunia. Kendati tradegi, dalam arti kehilangan, kegagalan, dan kebusukan, tak terhindarkan dalam proses perkembangan, namun, berkat kehadiran Tuhan yang meresapi segala segi kehidupan di dunia, ada semacam keteraturan dan keterarahan yang terjamin dan bisa dipegang.

Menurut pandangan Whitehead, agama memberikan rasa damai yang diperlukan untuk berani berpetualang di dunia yang bersifat sementara ini, karena agama menyandarkan akan dimensi nilai yang tetap atau abadi. Pentingnya agama bagi proses peradaban terletak dalam kemampuannya untuk memberikan dasar yang memberi jaminan bahwa perjuangan yang tidak kunjung habisnya untuk menyembpurnakan hidup di dunia ini, tidak sia-sia. Agama memberikan jawaban positif atas masalah apakah kehidupan kita di dunia yang fana ini bisa diberi makna yang langgeng. Kebahagiaan dan kenikmatan di dunia ini selalu hanya bersifat sementara saja, tetapi merupakan suatu keynataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mempunyai kerinduan eksistensial akan kebahagiaan yang langgeng sifatnya. Menurut Whitehead, agama menyediakan bagi manusia suatu jawaban atas eksistensial tersebut; dan kesadaran akan kebenaran ini memberi rasa damai.

Catatan Kritis

Membaca pemikiran Whitehead, kita seperti membaca teori evolusi jilid baru. Ketika ia memberikan fondasi argumentasi bahwa seluruh entitas-entitas semesta itu “berproses”. Whitehead mengambil simbol dasar ‘organisme’. Dan simbol dasar ini mau ditegaskan bahwa seluruh realitas (dunia, manusia dan Tuhan) itu bersifat dinamis, selalu berubah, dan mengandung unsur baru. Seluruh realitas berproses dan unsur-unsurnya saling terkait. Setiap unsur atau bagian dari keseluruhan sistem menyumbang pada kegiatan seluruh sistem sebagai satu kesatuan. Sebaliknya, keseluruhan sistem sebagai satu kesatuan memperoleh kegiatan masing-masing unsur atau bagiannya.

Filsafat “Proses” Whitehead kemudian juga berkorelasi tidak hanya pada pemikirannya tentang alam semesta, tetapi sudah menjadi satu keseluruhan pemikiran secara komprehensif. Baik ketika ia bicara tentang manusia, agama, epistemologi, kosmologi dan sebagainya. Sudah menjadi statement awal bahwa pemikiran Whitehead ini identik dengan teori evolusi yang digagas Darwin. Perbedaannya Whitehead ingin bahwa dengan adanya proses evolusi, kita tidak harus menolak eksistensi Tuhan. Tetapi yang ingin diangkat oleh Whitehead kita masih bisa berTuhan walaupun kita menerima teori evolusi yang “berproses”.

Implementasi pemikiran Whitehead sendiri saya rasa masih dapat diimplementasi pada masa ini. Yang diinginkan Whitehead adalah mengkonstruksi Tuhan dan Agama agar ia tidak dogmatis. Ia dinamis dalam ruang dan waktu yang “berkesajarahan”. Sehingga ia cair dan relevan diterapkan disetiap peradaban yang ada. Tapi sayangnya Whitehead tidak menjelaskan secara rinci secara korelatif ke arah mana semua entitas-entitas semesta termasuk Tuhan akan berproses. Karena bila Tuhan berproses, ia berarti dinamis, dan ketika ia dinamis, ia pasti terikat ruang dan waktu. Dan Tuhan pasti sama dengan makhluk-makluk lain yang ada seperti: hewan, tumbuhan, dan manusia. Karena mereka sama-sama berproses. 

Namun di sisi lain, semangat Whitehead yang ingin, setidaknya mendamaikan agama dengan manusia modern cukup menjadi acuan. Bahwa Whitehead setidaknya berhasil membuktikan bahwa Tuhan dan Agama masih bisa dikonstruksi agar dapat diterima oleh manusia-manusia modern. Setidaknya itu menjadi jalan bahwa Tuhan dan Agama memang tetap dibutuhkan oleh manusia sebagai makhluk yang multidimensional.

Daftar Pustaka

Whitehead, Alfred North. Process and Reality- Corrected Edition, edited by David Ray Griffin and Donald W. Sherburne . New York: The Free Press, 1979
Lowe, Victor. Understanding Whitehead. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1959
Sudarminta. Filsafat Proses- sebuah pengantar sistematik filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1991
Magnis Suseno, Franz.  Menalar Tuhan – Filsafat Berhadapan dengan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius. 1996
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers